Refleksi Darurat Pers di Aceh: Jurnalis Tak Bisa Dibungkam

30 April 2021 - 16:26
ALIANSI Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh menggelar pameran foto dan diskusi dengan tema “Refleksi Darurat Pers di Aceh: Jurnalis Tak Bisa Dibungkam”. Kegiatan diikuti kalangan jurnalis dan masyarakat umum itu berlangsung di Kantor AJI Banda Aceh, Rabu, 28 April 2021. Kegiatan tersebut dalam rangka kampanye kemerdekaan pers menjelang peringatan World Press Freedom Day (WPFD) 2021 yang diperingati setiap 3 Mei. Diskusi ini menghadirkan narasumber Munir Noer (Ketua Pengda IJTI Aceh), Adi Warsidi (CEO Acehkini) dan Hotli Simanjuntak (fotografer EPA). Ketua AJI Banda Aceh, Juli Amin, mengatakan diskusi tersebut dilaksanakan sebagai refleksi darurat pers di Aceh. Kendati demikian, kata Juli Amin, kegiatan ini bukan bertujuan untuk membangkitkan kembali konflik Aceh, tetapi lebih kepada menyampaikan kisah jurnalis yang saat itu tetap bisa berkarya meskipun dalam tekanan dari pihak bertikai. Beberapa foto dipamerkan dalam kegiatan ini merupakan hasil jempretan para jurnalis yang bertugas pada masa konflik Aceh, mulai dari darurat militer, darurat sipil, hingga terjalinnya perdamaian. “Intinya pameran dan diskusi ini menyampaikan bahwa jurnalis jangan dibungkam, jangan rampas kemerdekaannya dalam meliput, sesulit apapun seorang jurnalis tetap harus mengabadikan apa yang terjadi,” ujar Juli Amin saat membuka kegiatan tersebut. Sekretaris Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh, Eko Densa, menyampaikan dalam pameran ini terdapat 20 foto masa konflik Aceh. “Foto-foto yang dipamerkan sejak Selasa (27 April 2021) ini merupakan hasil karya dari jurnalis senior di Aceh seperti Bedu Saini (Ketua PFI Aceh), Adi Warsidi dan Hotli Simanjuntak kala meliput di era konflik dulu,” kata Eko Densa. Saat sesi diskusi, masing-masing pemateri saling menyampaikan pengalamannya saat meliput suasana konflik belasan tahun silam. Mereka juga kerap merasakan bagaimana ancaman dari berbagai pihak yang bertikai. Munir Noer mengungkapkan salah satu bentuk tindakan negatif yang dialami jurnalis saat konflik adalah ancaman terhadap keluarga wartawan. “Ketika berita naik, keluarga kita akan menjadi ancaman, ini sebuah permasalahan untuk wartawan lokal saat konflik,” ujar mantan jurnalis RCTI itu. CEO Acehkini, Adi Warsidi, mengatakan saat awal darurat militer, pemerintah membuat pembatasan-pembatasan terhadap wartawan di Aceh, sehingga pemberitaannya lebih dominan tentang TNI. “Awal darurat militer berita tentang GAM banyak tidak termuat. Makanya banyak mobil-mobil yang membawa koran terbakar di perjalananan,” kata Adi Warsidi. Berbeda lagi dialami Hotli Simanjuntak. Sebagai wartawan dari media internasional, ruang geraknya saat konflik lebih luas daripada para jurnalis lokal. Apalagi, kala itu ia berasal dari luar Aceh. “Saya bisa kemana-mana, kalau mau dicari keluarga ataupun kantor media lokasinya di luar Aceh, jadi sedikit bebas, tetapi tetap ada ancaman dan kendala-kendala selama bertugas,” kata Hotli Simanjuntak.[]