SATU workshop digelar bagi jurnalis yang medianya masuk dalam program pemantauan pemberitaan syariat Islam di Aceh. Kegiatan pada 18 – 19 Juni 2012 silam menjadi penting untuk pembelajaran terkait pemberitaan, terutama etika.
Sebanyak 15 jurnalis mengikuti workshop yang menghadirkan pemateri dari Jakarta dan Aceh. Selain kalangan praktisi media dan jurnalis, panitia juga mengundang advokat dan mentor program “Mendorong Media Sehat dalam Pemberitaan Syariat Islam di Aceh”, Anggara Suwahju.
Anggara adalah pendiri Institute Criminal and Justice Reform (ICJR), lembaga yang meneliti persoalan kriminal dan reformasi keadilan. Ia juga pernah terlibat selama dua tahun dalam bidang advokasi di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Anggara yang tampil di sesi pembuka workshop menyorot persoalan etika jurnalistik yang masih diabaikan pengelola media di Indonesia. Menurut dia, imbas kecerobohan jurnalis dan media dalam memberitakan kasus pelanggaran, termasuk pelanggaran syariat Islam, telah mengabaikan hak korban, bahkan cenderung menghakimi perempuan dan anak-anak sebelum proses hukum berjalan.
Advokat ini juga mengingatkan media saat memberitakan identitas korban anak-anak yang berakibat buruk pada masa depannya. Dalam beberapa kasus, media terkesan menghakimi pelaku anak-anak sebelum diputuskan pengadilan. Dia menyontohkan kasus anak mencuri sandal dan pencurian pulsa yang ramai diberitakan media tanpa memperhatikan etika dan hak anak.
Sebenarnya, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Hak Jawab dan Pelayanan Hak Jawab secara jelas mengatur masalah etika. Sehingga dia menjadi rambu yang sangat aman bagi media dalam peliputan dan pemberitaan, termasuk soal isu syariat Islam. “Ingat, media bisa melakukan pembunuhan karakter jika mengabaikan ketentuan-ketentuan tersebut,” tegas Anggara.
Dicontohkan beberapa kasus perlakuan media yang tidak seimbang terhadap narasumber atau publik. Porsi hak jawab cuma ditayangkan sekali, padalah berita sudah berulang kali. Kondisi lain adalah image muncul akibat pemberitaan yang salah. Publik biasanya percaya atau membaca berita pertama. Mereka jarang sekali mengikuti soal hak jawab. “Yang paling ideal adalah menghindari kesalahan dan menghilangkan tindakan menghakimi terhadap korban,” katanya.
Workshop yang dikemas dengan diskusi itu banyak melahirkan berbagai pertanyaan yang intinya konfirmasi soal pemberitaan di media selama ini. Materi lain dari para penanya adalah etika penyebutan status dan pemberitaan yang benar. Sesi pertama berlangsung setengah hari. Peserta workshop mengaku banyak mendapatkan pencerahan saat diskusi berlangsung.
Nurdin Hasan yang tampil
pada sesi kedua lebih banyak menyoroti persoalan syariat Islam yang dinilai terkesan politis.
naturally advise to…
Penerapan syariat Islam merupakan upaya pemerintah pusat sebagai bagian penyelesaian konflik bersenjata di Aceh. Selama ini yang jadi perhatian pun sangat terbatas yaitu masalah maisir, khamar, khalwat dan pakaian ketat, padahal Islam mengatur seluruh sisi kehidupan manusia. “Kenapa tidak diupayakan untuk menerapkan perekonomian berbasis syariat di Aceh,” ujarnya.
Media selama ini cenderung terjebak pada polarisasi kebijakan stakeholder. Media sangat kurang proaktif mengutip keterangan masyarakat atau saksi mata dalam memberitakan kasus pelanggaran syariat, terutama jika terjadi penggerebekan. “Sadar atau tidak, jurnalis termasuk media, hanya mengutip keterangan dari aparat Satpol PP dan WH,” tegas jurnalis freelance ini.
Sebagai jurnalis, sewajarnya mengutip keterangan korban, terlepas mereka itu salah atau tidak. Azas praduga tak bersalah satu dari beberapa hal yang harus dikedepankan jurnalis dalam meliput dan memberitakan, termasuk masalah pemberlakuan syariat Islam di Aceh.
Persoalan lain adalah proses produksi berita di tingkat editor. Karena alasan menjual, judul berita ditulis secara bombastis, bahkan kadang tak sesuai dengan isinya. Jika hal ini terjadi, jurnalis berhak memprotes editor. “Tidak dilarang memprotes editor, jika memang benar, dan menyelamatkan publik,” ujar Nurdin.
Memberikan pelajaran atau pendidikan bagian penting dari peliputan dan pemberitaan. Misalnya, mengkritisi penerapan qanun syariat Islam yang hanya berkutat pada persoalan pakaian, khususnya pakaian perempuan. Padahal, masih banyak bisa didorong, termasuk penerapan ekonomi syariat yang memberikan identitas diri sebagai daerah bersyariat.
Mantan ketua AJI Banda Aceh juga menyorot persoalan ketajaman jurnalis dalam menulis isu syariat Islam. Banyak sisi yang terlupakan oleh jurnalis saat melakukan peliputan di lapangan karena “terjebak” rutinitas pada keterangan petugas Satpol PP dan WH.
Workshop hari kedua menghadirkan Fahmi Yunus, seorang pemerhati media di Aceh. Fahmi yang berlatar belakang pekerja kemanusiaan pernah terlibat aktif memantau media saat Aceh sedang diberlakukan darurat militer, tahun 2003 – 2004. Saat itu, pemantauan media yang didukung ISAI Jakarta memantau media cetak dan elektronik yang memberitakan apa pun peristiwa di Aceh saat darurat.
Fahmi dihadirkan untuk memberikan gambaran pemantauan yang sebaiknya dilakukan jurnalis saat meliput dan menulis laporan. Suara korban dan cover both side menjadi dua kata kunci yang disuguhkan pada hari kedua.
“Menghindari Penghakiman oleh Media”, itulah judul yang disampaikan pada hari itu. Pers atau media bertanggungjawab penuh menghindari upaya menghakimi korban atau objek, khususnya dalam peliputan dan pemberitaan syariat Islam.
Fahmi yang pernah terlibat dalam media center Damai Melalui Dialog pada 2002, banyak menyorot soal ketidakberimbangan pemberitaan di media. “Perlu sering ada pencerahan untuk jurnalis agar tak mengorbankan sumber dan publik dalam menulis berita,” katanya.
Maimun Saleh, Ketua AJI Banda Aceh, yang tampil pada sesi terakhir menyajikan materi soal peran organisasi pers dalam pemberitaan syariat Islam. Pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol masyarakat. Kata “kontrol” juga ada dalam UU. Ada dua ukuran yang memperbolehkan pers dikontrol oleh masyarakat, pengantar KEJ dan UU. Maka, pers tidak boleh alergi ketika dikontrol atau dikritisi masyarakat.
Dalam bekerja, Maimun mempertanyakan sejauhmana pers sudah sampaikan kebenaran kepada publik. Sedikit ketahuan ketika melihat hasil kajian AJI terkait pemberitaan
syariat Islam yang lebih banyak mengaburkan fakta dan kebenaran.
“Ada banyak lembaga yang datang ke AJI mempertanyakan integritas wartawan. Ini tolok ukur bahwa integritas jurnalis dan media masih diragukan oleh masyarakat,” tegas jurnalis Seputar Indonesia ini.[]